Selasa, 03 Agustus 2010

Idham Khalid Penggagas Rabithah Ma'ahid Islamiah Nahdlatul Ulama (RMI-NU)

(ANTARA News) - Koordinator Rabithah Ma`ahidil Islamiyah (RMI) Wilayah Barat, K.H. Zaim Ahmad Ma`shoem, menilai mendiang K.H. Idham Chalid sangat menginginkan agar pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU) bersatu.

"Semasa hidup, Pak Idham sangat peduli dengan perkembangan dunia pesantren, terutama pesantren NU sehingga kami sangat berduka," kata pria yang akrab disapa Gus Zaim itu saat dihubungi dari Semarang, Minggu.

Menurut dia, wafatnya K.H. Idham Chalid meninggalkan duka yang sangat mendalam di kalangan warga Nahdliyin, khususnya seluruh asosiasi pondok pesantren NU yang berada di bawah naungan RMI.

"Beliau (K.H. Idham Chalid, red.) adalah salah satu tokoh yang memelopori terbentuknya RMI," kata Gus Zaim yang juga mantan Ketua RMI Jawa Tengah, sayap organisasi NU yang membawahi pondok pesantren tersebut.

Sebelum terbentuk RMI, kata dia, pondok pesantren NU bernaung di bawah lembaga Ittihadul Ma`ahid, namun dalam perkembangannya berubah menjadi RMI yang menaungi pondok pesantren hingga sekarang.

Ia mengatakan latar belakang pendirian RMI itu tentunya tidak lepas dari keinginan agar kalangan pondok pesantren bersatu, mengingat persatuan pondok pesantren bisa menjadi upaya menuju persatuan Indonesia.

"Saya pribadi tidak terlalu mengikuti pemikiran-pemikiran Pak Idham, namun hubungan beliau dengan keluarga kakek saya (K.H. Ma`shoem Ahmad - Pendiri Pondok Pesantren Al Hidayat Lasem) sangat erat," katanya.

Gus Zaim menceritakan kisah menarik terkait mendiang K.H. Idham Chalid yang selalu datang ke  Lasem setelah menerima kiriman surat yang keluarga K.H. Ma`shoem Ahmad dalam huruf Arab pegon (tanpa harakat).

"Kebetulan yang sering menulis nenek saya (Nyai Nuriyah - istri K.H. Ma`shoem Ahmad). Sudah tulisannya Arab pegon yang susah dibaca, ditambah gaya penulisannya yang khas membuatnya terlihat rumit," katanya.

Setiap menerima surat dari keluarga Ponpes Lasem, lanjutnya, K.H. Idham Chalid langsung menyempatkan datang di tengah kesibukannya di perpolitikan, padahal yang bersangkutan belum membaca isi surat itu.

"Ketika K.H. Idham Chalid datang lalu ditanyakan apakah sudah membaca isi surat itu, dan beliau pasti menjawab `Belum, tetapi saya yakin isinya penting makanya datang ke sini (Lasem)," katanya, seraya tertawa.

Hal tersebut, kata dia, menunjukkan kedekatan hubungan K.H. Idham Chalid dengan keluarga K.H. Ma`shoem Ahmad karena tetap menyempatkan datang ke Lasem meskipun kesibukannya ketika itu sangat luar biasa.

Terkait pemikiran mendiang K.H. Idham Chalid secara garis besar, ia mengatakan pemikiran tokoh termuda yang pernah memimpin NU itu sebenarnya hampir sama dengan pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

"Keduanya sama-sama berpikiran ke depan, tetapi yang membedakan pemikiran Gus Dur bersifat meloncat sehingga sering susah dipahami," kata pengasuh Ponpes Kauman Lasem itu.

Mantan Ketua PBNU dan Ketua MPR/DPR K.H. Idham Chalid meninggal dunia dalam usia 88 tahun di kediamannya di Ponpes Daarul Maarif, Cipete, Jakarta, Minggu, pukul 08.00 WIB, karena sakit yang diderita selama 10 tahun terakhir

Halaqah Nasional Pondok Pesantren Se-Indonesia, dilaksanakan PP RMI NU bekerjasama dengan KEMENAG RI

RMI Online, sebagai salah satu upaya untuk pengembangan kesehatan malalui olah raga dan kegiatan seni bagi santri di pondok pesantren, perlu adanya pengkajian atau halaqah oleh para ulama mengenai kegiatan olah raga dan seni yang pantas diselenggarakan dan dikompetisikan dikalangan santri pondok pesantren agar tidak bertentangan dengan ranah syariah,  Hal ini dianggap penting mengingat dalam kegiatan olah raga dan seni begitu banyak cabang olah raga dan kegiatan seni yang masih perlu mendapatkan rekomendasi untuk dikompetisikan di kalangan santri Pondok Pesantren, oleh karena itu penyelenggaraan halaqah nasional tentang cabang olah raga dan seni bagi para santri merupakan bagian yang mesti dilakukan, demikian dinyatakan oleh ketu PP RMI, DR. KH. Amin Khaedari, M.Pd dalam jumpa persnya.

Menurutnya, Karena alasan itulah  Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyyah bekerjasama dengan Kementerian Agama RI. mengadakan kegiatan Halaqoh Nasional Pengasuh Pondok Pesantren se-Indonesia dengan tema "Perspektif Islam dalam Pengembangan Olah Raga dan Seni Pondok Pesantren" di Hotel New Grand Park Surabaya  pada tanggal 05-06 Juli 2010. Adapun tujuan dari kegiatan ini menurutnya, mengkaji dan merekomendasikan cabang olah raga dan kesenian yang pantas diselenggarakan dan dikompetisikan dikalangan santri pondok pesantren. Dengan target adanya rekomendasi para alim ulama secara nasional terhadap cabang olah raga dan kesenian yang pantas untuk dibina dan dikembangkan di pondok pesantren.

Halaqoh ini telah dibuka Oleh Menteri Agama RI, Drs.Surya Darma Ali, M.Si dan dihadiri oleh lebih 100  Alim Ulama Terkemuka Nasional yang mewakili Pondok Pesantren Se-Indonesia, sebagai Nara sumber dalam halaqah ini diantaranya; Drs. Slamet Effendi Yusuf, MA.,  Prof. DR. KH. Tolhah Hasan, Prof. DR. Imam Suprayogo, Prof. DR. KH. Mustofa Ali Ya'kub, Prof. DR. Yudian Wahyudi, KH. Machrus Amin dan KH. Abdullah Syarwani.

Halaqah ini telah menghasilakan Rekomendasi sebagai berikut:  1).Olah Raga dan Seni merupakan hal yang sangat dibutuhkan Pondok Pesantren dan memiliki landasan hukum dalam Syariat Islam 2). Cabang Olah raga seperti Renang,  Berkuda, Memanah, menembak  adalah cabang olah raga yang sangat di anjurkan (sunnah muaakkad) 3).Pemerintah harus mensupport sarana dan prasarana pengembangan olah raga dan seni  di pondok pesantren. 4). Olah raga dan seni di pondok pesantren harus di tingkatkan dari sekedar aksesoris menuju profesi 5) Meminta kepada pemerintah dan pondok pesantren untuk menindaklanjuti rekomendasi ini dengan Program dan Aktualisasi yang lebih riil, sehingga dihasilkan kemajuan Pondok Pesantren di bidang seni dan olah raga. (Abdullah Mas'ud, RMI)

Penguatan Pesantren Diwujudkan dengan Pemberdayaan RMI

Jakarta, RMI NU Online
Salah satu program penting dari kepengurusan PBNU periode 2010-2015 adalah kembali ke pesantren, yang sudah menjadi slogan dari KH Said Aqil Siradj ketika mencalonkan diri menjadi ketua umum PBNU.


Dalam merealisasikan program ini, salah satu Ketua PBNU KH Abbas Muin berpendapat yang harus dilakukan adalah penguatan institusi Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) atau perhimpunan pengelola pesantren NU.
"RMI bisa memposisikan diri untuk menjadi fasilitator bagi berbagai pesantren untuk menjalankan programnya," katanya kepada NU Online baru-baru ini.

Jika RMI mampu memberikan dukungan kepada pesantren di lingkungan NU, maka keberadaannya akan semakin dirasakan manfaatnya dan semakin banyak pesantren yang mau bergabung dan terlibat didalamnya.
Ia mencontohkan di Jawa Tengah, pesantren secara rutin mengadakan pertemuan selama tiga bulan sekali untuk membicarakan berbagai persoalan yang menyangkut masalah kepesantrenan. Ia berharap RMI mampu memfasilitasi dan mengembangkan model seperti ini.

Untuk tokoh yang layak menjadi ketua MRI, ia mengusulkan kriteria bukan orang yang memiliki pesantren tetapi faham organisasi dan manajemen pesantren.
"Tidak punya pesantren untuk menghindari konflik kepentingan dengan pesantrennya sendiri," terangnya. (mkf)

Raker Pengurus Pusat RMI NU

Jakarta, RMI NU Online
DR.KH. Amin Khaedari, M.Pd dalam jumpa pers 29 Juli 2010 menyatakan bahwa Tgl 24 September pengurus pusat rabithah ma'ahid Islamiyyah akan mengadakan raker PP RMI, yang mana focus utama dari raker adalah membahas nasib ponpes yang dinilai masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Pertemuan yang akan diikuti pengurus Pusat RMI NU se-Indonesia itu akan menuntut kepada pemerintah agar lebih memerhatikan ponpes.
Selama ini, ujarnya, ponpes diperlakukan diskriminatif oleh pemerintah. Padahal, ponpes yang juga menjadi bagian dari sistem pendidikan di Indonesia memiliki hak yang sama seperti layaknya lembaga pendidikan yang lainnya. Lulusan pondok pesantren, selama ini, belum diakui keberadaannya oleh pemerintah.
"Pondok pesantren yang berada di bawah naungan RMI NU, hanya Sidogiri (Pasuruan) dan Lirboyo (Kediri) yang lulusannya atau ijazahnya diakui oleh pemerintah. Sementara, pondok pesantren lain, tidak. Padahal, kalau bicara kualitas, lulusan pesantren juga tidak kalah dengan lulusan lembaga pendidikan lainnya," terang Adhim.
Tidak hanya itu. Menurutnya, ponpes yang umumnya berada di pinggiran kota, kurang mendapat perhatian dari pemerintah, terutama dari segi fisik. "Bantuan materi dari pemerintah untuk pesantren selama ini masih sedikit, seperti bantuan pengadaan laboratorium, dan sebagainya. Kalau pun ada, hal itu setelah era reformasi, sebelumnya tidak pernah ada," paparnya.